Tuesday, 26 November 2013

Tulus

yogyakarta-26 November 2013

Aku adalah seorang wanita yang bisa dibilang sempurna. Kutahu itu karena banyaknya ucapan mulut lelaki yang selalu menggoda atau hanya sekedar bersiul saat melihatku berjalan atau sedang nongkrong disuatu tempat. Dan dari pandangan mereka yang seolah melihatku dengan tatapan seperti se-ekor harimau yang hendak menerkam mangsanya.

Karena banyaknya pilihan sosok pria dihidupku, aku yang sekarang sudah berusia 27 tahun ini belum juga menikah. Orangtuaku selalu saja bertanya kepadaku, “Kapan kamu mau menikah nduk?,..”. Dan aku hanya bisa diam dan tersenyum kala mendengar pertanyaan itu dari orangtuaku.

Bagiku umur tidak menjadi patokan dalam urusan menikah, aku belum mau menikah selain karena banyaknya pilihan pria dalam hidupku juga karena aku masih ingin hidup bebas dan bermain bersama teman-temanku. Ya,.. Meskipun teman-temanku semuanya sudah bersuami.

Hari-hariku jalani seperti biasa bersama teman-temanku. Clubing, shoping, karaokean dan masih banyak lagi hal-hal yang menurutku menyenangkan dan membuat aku lupa akan kata-kata yang setiap hari selalu dilontarkan kedua orangtuaku. “Menikah.

Sampai suatu saat orangtuaku yang memang sudah tidak sabar lagi untuk melihat anaknya berada dipelaminan memutuskan untuk segera menikahkanku dengan seorang lelaki pilihannya. Karena menurut mereka setiap teman lelaki yang sering main kerumahku tidak memenuhi keriteria yang mereka mau. Dengan sangat terpaksa aku menurutinya.

***

Aku membencinya. Itulah kata-kata yang selalu kubisikkan dalam hatiku sepanjang kebersamaanku dengan suamiku. Menikah karena orangtua membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukan sikap benciku. Meskipun membencinya, aku selalu melaksanakan tugas istri sebagaimana mestinya. Aku terpaksa melakukannya karena aku tak punya pegangan lain. 

Beberapa kali muncul keinginan dibenakku untuk meninggalkannya, tapi aku tak punya cukup financial untuk melakukannya. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku, karena menurut mereka suamiku adalah sosok yang sempurna untuk putri satu-satunya yang ia miliki.
Menikah dengannya membuatku menjadi sangat manja. Kulakukan semua sesukaku, suamiku pun begitu memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah mau benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri sebetulnya. 

Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya, setelah apa yang sudah ia lakukan. Aku telah menyerahkan seluruh hidupku dengan ia mempersuntingku menjadi istri syahnya, sehingga sekarang tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti segala keinginanku.

Dirumah aku bak seorang ratu. Tak ada satupun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka saat ia melemparkan handuknya yang basah ke atas tempat tidur seusai mandi, aku tak suka melihat tumpahan kopi dimeja dan meninggalkan bekas lengket, aku juga kesal saat ia lupa meletakkan sepatunya di rak sepatu, aku marah dengannya saat ia memakai laptopku, meskipun itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku bahkan bisa sangat marah dengannya saat ia meneleponku saat aku sedang bersenang-senang dengan teman-temankku.

Awalnya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun aku tidak bekerja aku tidak mau keseharianku direpotkan hanya dngan mengurusi anak. Awalnya dia mendukung, dan akupun selalu meminum pil KB. Tapi rupanya ia menembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa meminum pil KB. Dan meskipun ia tau, ia membiarkannya. Akupun hamil, aku baru tau sejak 3 bulan kehamilanku, dokterpun menolak menggugurkannya.


Itu adalah kemarahan terbesarku padanya. Kemarahanku semakin bertambah ketika aku mengetahui bahwa aku mengandung sepasang anak kembar. Setelah itu aku bilang padanya bahwa setelah ini aku tidak mau hamil lagi !
Waktu berlalu tak terasa hingga anak-anak sudah berusia 11 tahun. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir sedangkan suami dan anak-anakku sudah duduk manis dimeja makan. Tentu saja suamiku yang menyiapkan semua sarapan untuk anak-anak sebelum berangkat ke sekolah diantar dengan suamiku tentunya. Pagi itu, ia mengingatkanku hari ulang tahun ibuku, untuk tidak melupakannya seperti tahun sebelumnya, yang dimana saat ulang tahun ibuku, aku justru memilih untuk pergi ke mall bersama teman-temanku.

Sebelum berangkat kerja sekaligus mengantar anak-anak berangkat sekolah biasanya suamiku mencium pipiku sekali saja. Tapi pagi itu ia menciumku berulang kali didepan anak-anak sambil memelukku. Aku sebenarnya sudah berusaha mengelak, meskipun pada akhirnya aku tersenyum dan anak-anakku pun ikut tersenyum melihat tingkah kami. Ntah apa yang ada dipikiran suamiku pagi itu, ia seolah seakan-akan sangat berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke butik. Menghabiskan waktu untuk berbelanja adalah hobi bagiku. Aku pun berangkat ke butik beberapa saat setelah aku mandi terlebih dahulu. Aku berbelanja cukup banyak waktu itu. Aku membeli baju, tas, bahkan pakaian dalam yang kubeli haruslah bermerek. Tiba saat aku akan membayar, namun betapa terkejutnya aku, ketika menyadari bahwa dompetku ketinggalan. Aku sudah merogoh tasku hingga bagian yang terdalam namun tetap. Hasilnya nihil.

Aku menelepon suamiku, karena aku malu jika sampai tidak membayar. Apalagi barang-barang yang aku ambil cukup banyak jumlahnya.

“Maaf sayang,.. Kemarin Fiki meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil, jadi aku ambil saja uang dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ketasmu. Mungkin ada diatas meja kerjaku,..” Kata suamiku menjelaskan dengan lembut.

Aku mengomeli dan memaki-makinya habis-habisan, sambil kututup telpon tanpa menunggunya selesai bicara. Dengan cepat handphoneku berbunyi kembali, dan ternyata suamiku menelepon lagi. Aku mengangkat sambil membentak “Apalagi,..?!”

“Baik sayang, aku pulang sekarang untuk mengambil dompetmu dan segera mengantarkannya padamu, sayang ada dimana sekarang?” jawabnya cepat karena ia takut handphone aku matikan lagi. Aku menyebutkan nama butiknya sambil menutupnya cepat tanpa menunggu balasan omongan darinya.

Hujan turun begitu deras. Bisa kulihat dari balik jendela kaca yang terdapat dibutik. Dan berharap mobil suamiku segera datang dengan cepat. Berjam-jam sudah aku menunggu, hujan pun belum berhenti mengguyur bumi dengan derasnya. Suamiku pun belum juga sampai.
Aku tak sabar. Akupun meneleponnya namun tak ada jawaban, berulang kali aku meneleponnya namun tetap tidak ada jawaban. Biasanya, jika aku menelepon. Hanya 2 kali berdering telponku sudah diangkat.

Telponku diangkat setelah aku terus-terusan menghubunginya. Belum keluar suara bentakanku.Disebrang sana terdengar suara yang asing bagiku, “Selamat siang ibu,.. Apakah ibu adalah istri dari bapak Arif Fitra ?”. Kujawab telepon itu segera, ternyata suara asing itu adalah seorang polisi, ia memberitau bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dilarikan kerumah sakit Condong Catur. Aku hanya terdiam dan hanya bisa mengucapkan, “Terimakasih,..” kepada polisi tersebut.

Aku berjongkok dengan bingung. Dan para pegawai butik mendekatiku sambil bertanya apa yang membuat wajahku menjadi pucat seperti ini.
Akupun segera berlari kerumah sakit dan barang yang aku ambil dibutik tidak jadi aku beli. Ntah siapa yang memberi tau, tiba-tiba seluruh keluargaku hadir menyusulku disana. Aku hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku didepan ruang gawat darurat. Aku tak tau harus melakukan apa, karena selama ini dialah yang memalakukan semuanya. Tepay seusai adzan maghrib berkumandang seorang dokter keluar dan menyampaikan berita tersebut. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan yang menimpanya namun karena penyakit stroke yang selama ini bersemayam didalam dirinya.
Setelah mendapat berita itu. Kedua orangtua dan mertuaku menangis sejadi-jadinya. Anak-anakku memelukku dengan erat. Aku tidak menangis, aku malah sibuk menenangi kedua orangtua dan mertuaku serta anak-anakku. Kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuat air mataku keluar.

***

Ketika jenazah dibawa kerumah dan aku duduk tepat disampingnya. Aku termangu menatap wajah itu. Aku sadar baru kali ini aku menatap wajahnya yang tampak tertidur sangat pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama 13 tahun kebersamaan kami. Kusentuh wajahnya yang telah dingin, kusadari inilah kali pertama aku menyentuh wajahnya dengan penuh perasaan. Wajah yang selalu tersenyum hangat dulu.

Air mata mulai merebak dimataku. Aku berkesiap mengahapus air mataku agar tidak menghalangi pandangan terakhirku padanya. Aku ingin menikmati pandangan terakhir ini karena aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar semua kenangan ini tidak berakhir begitu saja. Air mataku bukannya berhenti, malah semakin deras membanjiri pipiku. Dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya saat terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat bahwa aku tak pernaj memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur pola makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang aku makan. Vitamin apa yang harus kuminum. Apalagi saat aku hamil. Ia selalu memperhatikan pola makanku, bahkan setelah kelahiran anak kembar kami ia tidak henti-hentinya mengingatkanku untuk meminum obat. Ia juga sering menyuapiku makan ketika aku sedang malas makan, padahal aku tau ia sedang kecapekan waktu itu seusai pulang kerja. Aku tak tau apa yang ia makan, karena akau tidak ingin tau. Aku bahkan tak tau makanan apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluargaku tau kalo suamiku sangat menyukai mie instan dan kopi hitam. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tau ia selalu makan mie instan karena aku tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk diriku dan anak-anak saja, selebihnya jika ada makanan sisa masakanku barulah itu menjadi jatahnya. Ia pun pulang larut malam setiap hari karena jarak rumah ke tempat ia bekerja cukup jauh. Ia sudah pernah memintaku untuk pindah rumah agar dekat dengan tempatnya bekerja, tapi aku menolak karena aku tidak mau tinggal jauh-jauh dari rumah teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku tak sanggup melihat tubuhnya hilang ditelan tumpukan tanah yang menimbunnya. Aku pingsan.
Aku terbangun dengan rasa sesal yang tak tertahankan yang memenuhi rongga dadaku. Keluargaku membujukku dengan sia-sia. Meraka tak tau mengapa aku bisa sangat kehilangan sosok seperti dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tapi yang ku ingat hanyalah sosok suamiku yang selalu membujukku makan ketika aku sedang malas makan. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa. Dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang.

Dulu begitu kesal aku jika ia tidur berantakan dikamar tidur kami, tapi sekarang kamar tidur terasa hampa dan kosong. Dulu aku begitu kesal jika melihat ia mengerjakan tugas-tugasnya dilaptopku, sekarang aku selalu memandangi laptopku, berharap ketikan-ketikan jari-jari tangannya masih menempel disana. Dulu aku juga sering kesal dengannya jika meminum kopi dengan tumpahan sedikit ke meja, sekarang bekas tumpahan kopinya yang trakhir ia minum diatas meja tak mau aku hapus. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terlalu bodoh karena tak sempat membalas cintanya.

Dalam pikiranku bertanya-tanya “Mengapa semua keliatan normal ketika ia suda tidak ada,..”. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Meminta maaf karena tidak tulus menyayangi kedua anakku.

Setelah 40 hari kematiannya. Keluargaku menyemangatiku karena masih ada kedua anakku yang harus dihidupi. Aku bingung harus melakukan apa. Selama ini aku hanya terima beres dan tak pernah bekerja.

Yang bekerja hanyalah suamiku. Aku tidak peduli berapa besar pendapatannya, yang aku pedulikan hanyalah berapa besar uang yang ia transfer kerekeningku yang kupakai untuk keperluan pribadi setiap bulannya dan itu tak pernah bersisa. Dari tempatnya bekerja, aku mendapatkan gaji terakhir beserta bonusnya.

Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.

Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Beberapa hari kemudian kebingunganku seolah terjawab. Seorang notaris datang menemuiku. Ia membawa banyak sekali dokumen, dan ternyata dokumen itu berisi seluruh kekayaan yang dimiliki suamiku yang telah diwariskan kepadaku dan anak-anakku. Namun, ia juga membubuhinya dengan sebuah surat. Surat yang sangat membuat dadaku begitu sesak. Isi suratnya adalah :

Buat Istriku, Kiki yang tersayang,..

“Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingimu selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin kamu susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap kamu bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Fika, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Fiki, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Fika. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Mamen :),.. “

Aku menangis membaca surat itu,..

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

***

Kini kedua putra putriku berusia 25 tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Fika bertanya, “Ibu,.. aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri,.. soalnya Fika kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?,..”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang,.. cintailah suamimu,.. 
cintailah pilihan hatimu,.. cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta,.. kau akan belajar menyenangkan hatinya,.. akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan,.. kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta,..”

Fika menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?,..”
Aku menggeleng, “bukan,.. sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua,... Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua,..”

**

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku.
Aku menghabiskan 13 tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus. #Asek

Diadaptasi dari cerita seseorang yang gak mau ngasih tau siapa namanya.

1 comment: